Kredit Bermasalah di BPR Indra Arta, Kejari Inhu Bidik Dugaan Keterlibatan Politisi

Detak INews
Jumat, 10 Oktober 2025 | 20.03 WIB Last Updated 2025-10-15T13:09:41Z
Foto : 9 orang tersangka yang di amankan Kejari Inhu

INHU – Kasus dugaan penyimpangan pengelolaan dana di Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Indra Arta, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, terus bergulir. Kejaksaan Negeri (Kejari) Inhu kini tengah mendalami keterlibatan sejumlah pihak, termasuk oknum berpengaruh yang diduga turut menikmati fasilitas kredit tanpa prosedur sah.

Dari hasil penyelidikan, terungkap adanya praktik pemberian kredit di luar ketentuan, seperti pinjaman atas nama orang lain, agunan berbeda nama, hingga pencairan tanpa survei lapangan. 

“Pemberian kredit dilakukan di luar prosedur yang berlaku. Bahkan, ada pencairan pinjaman tanpa survei sama sekali,” ungkap Plt Kajati Riau, Dedie Tri Haryadi, Kamis (2/10/2025).

Akibat praktik tersebut, tercatat 93 debitur mengalami kredit macet, dan 75 di antaranya telah dihapus buku, dengan total kerugian negara mencapai Rp15 miliar. Sejauh ini, Kejari Inhu telah menetapkan sembilan tersangka utama, terdiri atas direktur, pejabat kredit, teller, dan sejumlah debitur.

Namun, penyidik masih menelusuri dugaan keterlibatan pihak lain di luar jajaran manajemen bank. Sumber penegak hukum menyebutkan, terdapat debitur prioritas yang diduga memperoleh fasilitas pinjaman karena kedekatan pribadi dan hubungan politik dengan pengelola bank.

Kasi Pidana Khusus Kejari Inhu, Leonard Sarimonang Simalango, menyebutkan praktik penyimpangan ini sudah berlangsung lama, bahkan diperkirakan terjadi sejak tahun 2014 hingga 2024.

“Direktur dan pejabat eksekutif mengetahui kredit tersebut bermasalah, tetapi tetap diloloskan karena ada tekanan eksternal,” ujarnya, dikutip dari iniriau.com

Audit internal juga menemukan bahwa sebagian dana kredit bermasalah tidak sepenuhnya digunakan oleh debitur, melainkan disetorkan kembali kepada pejabat bank maupun pihak luar. Modus ini disebut sebagai pola klasik mark-up kredit dan diduga menjadi bagian dari sistem terstruktur.

Hingga saat ini, baru sekitar Rp1,08 miliar dana yang berhasil dikembalikan oleh 17 debitur, sementara 131 debitur lainnya masih belum melunasi kewajibannya.

“Kami memberikan batas waktu hingga 10 Oktober 2025. Setelah itu, seluruh berkas akan kami tingkatkan ke tahap penuntutan,” tegas Leonard.

Kajari Inhu Winro Tumpal Halomoan Haro Munthe, melalui Kasi Intelijen Hamiko, membenarkan bahwa sebagian debitur bermasalah berasal dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) serta mantan anggota DPRD. 

“Dari hasil penyelidikan, terdapat debitur yang merupakan ASN dan oknum anggota DPRD,” ungkapnya, dikutip dari Riaupos.co

Penyidik juga mendalami dugaan keterlibatan sejumlah tokoh yang pernah menjabat di sektor keuangan daerah dan kini menduduki posisi strategis di lembaga legislatif tingkat provinsi.

Analisis Redaksi | Pola Lama Korupsi Daerah

Kasus BPR Indra Arta menjadi potret klasik bagaimana lembaga keuangan daerah, yang semestinya menopang perekonomian masyarakat kecil, justru rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki akses politik.

Pengawasan yang lemah dan budaya impunitas di tingkat lokal membuka peluang bagi praktik pinjaman tanpa agunan serta kredit fiktif.

Jika terbukti ada keterlibatan pejabat publik, maka kasus ini bukan hanya persoalan administrasi perbankan, melainkan indikasi korupsi politik sistemik yang merusak kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan dan parlemen daerah.

Penulis : Yanda

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kredit Bermasalah di BPR Indra Arta, Kejari Inhu Bidik Dugaan Keterlibatan Politisi

Trending Now

iklan