JAKARTA - Hiruk-pikuk Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akhir pekan lalu menyisakan tanda tanya besar bagi partai berlambang Ka'bah itu. Alih-alih melahirkan semangat baru, muktamar justru menorehkan garis tebal perpecahan. Dua nama—Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto—muncul sebagai "pemenang", masing-masing membawa barisan pendukung dan legitimasi versinya sendiri.
Situasi ini mengingatkan publik pada fragmen lama perjalanan PPP. Perpecahan yang berulang, tarik-menarik kepentingan, hingga dualisme kepengurusan bukanlah cerita baru. Namun kali ini, dengan pemilu yang kian dekat, potensi keretakan justru bisa menjadi batu sandungan serius.
Founder Citra Institute, Yusak Farchan, melihat gejala itu jelas di depan mata. “PPP bakal semakin terseok-seok menghadapi pemilu jika tidak ada rekonsiliasi internal antara dua kubu yang berseteru,” ujarnya.
Yusak menilai, jika dua kubu tetap ngotot mempertahankan klaim kemenangan, konsekuensinya bukan sekadar kehilangan arah politik, tapi juga berhadapan dengan problem legalitas. “Risikonya ada yang dianggap sah dan ada yang tidak sah secara hukum,” tambahnya.
Pada akhirnya, penyelesaian konflik mungkin bukan lagi sepenuhnya berada di tangan para elite partai. Yusak memprediksi, kementerian terkait akan menjadi penentu sah atau tidaknya kepengurusan hasil Muktamar X.
Bagi PPP, pilihan kini hanya dua: berdamai demi kelangsungan partai, atau terus terjebak dalam pusaran konflik yang bisa melemahkan langkah di kancah politik nasional. Sejarah pernah mencatat, PPP selalu bisa bangkit dari keterpurukan. Pertanyaannya, apakah kali ini partai Ka'bah mampu menemukan jalannya kembali?
(**)
%20(300%20x%20303%20piksel)%20(308%20x_20251007_114521_0000.png)

%20(300%20x%20303%20piksel)%20(308%20x_20251007_114521_0000.png)
 
 
 
 
 
 
